*** Selamat Datang ***

Sunday 18 July 2010

Sejarah Desa Werdhi Agung di Sulawei Utara

Komunitas multiagama, Hindu, Islam, dan Kristen di pedalaman Sulawesi Utara, hidup bersama tanpa konflik. Mereka adalah para transmigran dari Jawa dan Bali. I Nyoman Marayasa masih ingat betul ketika Gunung Agung me-letus pada 1963. Letusan gunung setinggi 3.000 meter di Karangasem, Bali, itu melahirkan awan panas dan menumpahkan lahar pada empat kecamatan. Tanaman dan ternak, tumpas. Lebih dari seribu orang tewas. ”Letusannya dahsyat, debunya sampai ke Yogyakarta,” ujar laki-laki yang akrab dipanggil Mare itu.Bangunan sekolah dasar di Desa Griyana Langen, tempat dia bekerja sebagai guru, juga luluh lantak. Tapi, Mare pantang tenggelam dalam duka. Dia mengelola pasokan logistik dari pemerintah, mengurus tempat tinggal, dapur umum, hingga mengatur pembangunan jamban di tempat pengungsian. ”Sejak itu saya dipercaya sebagai koordinator warga,” ujar Mare.Ketika itu, datanglah tamu dari jauh. Dialah Manuel Ikhdar, Bupati Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Manuel menawarkan lahan perawan yang terbentang luas di daerah asalnya. ”Tanah siap, kalian tinggal mengolah,” ujar Manuel saat itu. Mare separuh tak percaya. Mana mungkin ada tanah siap pakai di daerah yang baru dibuka. Mare diminta membujuk warga setempat untuk pindah. Pengungsi yang kehilangan ha-rapan itu pun manut. ”Kalau bapak ikut, kami mau,” kata mereka. Maka, dimulailah lembaran baru. Sekitar 531 kepala keluarga atau 1.352 jiwa bedhol desa ke daerah berjarak ribuan kilometer dari kampung mereka. Petani, nelayan, guru, dan tukang ukir pindah ke Lembah Dumoga, sekitar 200 kilometer dari Manado. Tepat seperti dugaan Mare, di sana tak ada tanah siap olah, melainkan hutan be-lantara. Ya, setengah tahun lebih me-reka membabat alas itu. ”Satu pohon besar dipotong 28 orang,” Mare me-ngenang. Tapi, kerja keras itu tak sia-sia. Bermodal kapak dan pil kina—wabah malaria sangat hebat waktu itu—penduduk Karangasem menyulap hutan lebat menjadi kampung Bali yang permai. ”Kami beri nama Werdhi Agung,” ujar Mare. Kini tanah Lembah Dumoga yang subur itu rimbun dengan tanaman kelapa, cengkeh, dan padi. Pura berukir batu dan kayu pun ikut tumbuh subur di sana.

Sumber berita; http://www.pustakalewi.net/detail.asp?section=rubrikberitadetail&rubrikberitamingguanid=778

No comments: